Senin, 30 April 2012

Menjemput Pengantin


Cerpen  Yuliadi Soekardi

Pada mulanya adalah kesunyian. Kesunyian itulah yang membukakan diri lebih luas. Menyingkapkan dirinya yang bercerita tentang kebahagiaan atau bahkan kedukaan. Dalam kesunyiaan kita saksikan kehadiran matahari yang begitu perkasa. Yang semuanya diatur oleh Maha Pencipta Jagat Raya ini. Membuat diri kita sadar tentang ketakberdayaan manusia. Aku ngungun.
Aku sedang melayang terbang mengepakkan sayap-sayap. Inilah sebuah atraksi yang kupilih sendiri. Terbang melintasi bukit-bukit gersang. Melintasi kebun kurma di sana. Melintasi lautan pasir yang luas. Jalan-jalan kafilah dagang. Ini semua bisa kulakukan dengan mudah. Karena aku masih bebas dan sendiri. Apalagi aku pun punya sayap-sayap yang banyak. Sehingga aku bisa menjangkau ke mana saja menuruti kemauanku. Sampai ke ujung bumi yang belumkuketahui. Tapi apakah aku ini sejatinya… seekor burung? Ataukah aku …. seekor rama-rama? Dengan sayap-sayap yang banyak ini? Padahal aku bukan seekor burung atau apapun yang bersayap seperti itu.
Bahkan aku bingung menentukan arah terbangku. Apakah ke awan yang tinggi di sana. Menyaksikan bintang-bintang yang berhenti berkedip.  Atau sekadar mengikuti angin. Di mana angin yang bergerak di padang pasir yang cepat dan berpindah-pindah. Yang sering bisa membuat bencana yang tak diingini.  Ataukah ke tempat sejuk di dekat mata air di sana.
Hanya di sini kini aku tidak ke bisa mana-mana. Karena nyatanya aku tidak punya sayap satupun. Aku bahkan sedang didandani untuk menjadi gadis pengiring menjemput pengantin. Di sebuah ruangan khusus berhias. Bersama dengan 9 gadis pagar ayu yang lainnya.
Hari memang masih gelap. Sang surya dengan lambat menampakkan diri secara perlahan di sebuah perkampungan kaum Nasarah. Di pinggiran kota Medinah.
Dan perlahan pula acara merias itu sudah lama selesai.  Kini aku  bersama kawan-kawan para dara “pagar ayu” siap mendampingi calon pengantin putri yang sudah dihias lebih cantik. Dalam iringan yang teratur di belakang pengantin putri. Kami semua siap mengawal calon pengantin putri menunggu dipersunting pengantin pria yang sebentar lagi datang.
Pada mulanya calon pengantin putri berdiri dengan tegar namun anggun. Demikian pula dengan kami yang mendampinginya sebagai pagar ayu. Namun ketika waktu terus merangkak  semakin siang. Suasana pun semakin tak terjaga.  Pembawa acara masih memberikan harapan-harapan. Bahwa pengantin pria dan rombongannya akan datang.
Siang kini mulai bergerak terus. Kami semua masih menunggu. Kami tahu kalau calon pengantin masih di situ dengan segala kecemasannya. Kami pun sama. Meskipun dalam posisi yang berbeda. Tapi hakikatnya ya harus: Menunggu. Menunggu memang  menjengkelkan. Apalagi menunggu yang tak jelas. Sangat memuakkan.  Menunggu kehadiran pengantin lelaki yang tak kunjung tiba. Padahal sebenarnya menunggu kali ini adalah menunggu yang menggembirakan. Sungguh.
            Kembali aku pada kesadaran bahwa tugasku bersama-sama yang lain adalah menunggu pengantin pria. Dan menyaksikan kehadirannya. Padahal pengantin pria tinggal di tempat yang jauh di selatan sana.
            Sampai hari beringsut  menuju sore, pengantin pria belum juga muncul. Semua sudah semakin gelisah. Keringat dingin pengantin dan para dara pengiring mulai tumpah.  Ada apa yah? Macam-macam pikiran pun bertingkah. Sampai suatu ketika pengatur acara mendekati calon pengantin.
            “Upacara penyambutan pengantin diundur.”
            Kami semua terkejut.
            “Tapi bukan berarti pernikahan akan dibatalkan.”
            “Lalu?”
            “Calon  mempelai terjatuh dari untanya ketika rombongan sedang menuju ke mari.”
            “Tapi untunglah pengantin tak apa-apa. Hanya perlu waktu untuk istirahat. Besok pagi barulah pengantin akan kemari siap dinikahkan.”
            Kami para pagar ayu pun mengantar  calon pengantin ke kamarnya. Dengan hati meruyak dan sedikit kecewa.  Namun masih harus bersiap melakukan tugas pada pagi berikutnya.
            Besoknya semuanya berjalan lancar. Dan pesta penyambutan calon mempelai pria berjalan baik. Sang Pengantin Pria pun datang bersama rombongannya. Upacara pernikahan pun dilakukan sesuai dengan yang direncanakan. Semua pristiwa menegangkan ini kuceritakan  pada Paman Waraqah.
            “Kau harus bersyukur, Maryam. Karena kau dapat mendampingi pengantin putri sampai saatnya tiba. Hendaknya kau juga bisa menyambut pengantin pria yang akan dielu-elukan umat manusia kelak.” Ujar Paman Waraqah dengan tersenyum.
            “Maksud Paman?”
            “Kita semua ini juga sedang menunggu kehadiran sang Pengantin yang lain.”
            “Pengantin yang mana?”
            “Pengantin buat semua orang. Dialah Anak Manusia seperti yang dinubuatkan Isa al-masih dalam kitabnya: …’karena seperti kilat memancar dari timur, dan bercahaya sampai ke barat, demikian juga kedatangan Anak Manusia itu….’ (Matius 24 :27)
“Siapakah sang pengantin yang bergelar anak manusia itu?”
“Dialah Sang Setiawan (Al-Amin) yang selalu berkata benar. Mungkin di antara kita nanti tak sempat menemuinya.”
            “Mengapa?”
            “Karena kita tak tahu kapan kejadian itu berlangsung.”
            “Paman semakin membingungkan.”
            “Eh ini serius ada Maryam. Di sana dinyatakan. Dengarlah seperti yang ditulis Matius dalam Injilnya: Yang menyatakan kalau kerajaan surga itu kelak akan datang seperti seumpamana 10 orang anak dara (pagar ayu)  yang mengawal pengantin putri. Mereka telah diperingatkan oleh panitia penyambutan. Agar mereka membawa pelita yang siap dinyalakan.”
“Mengapa?”
“Karena kehadiran si pengantin lelaki tidak diketahui dengan pasti. Apakah siang ataukah malam.”
“O… benar juga.”
“Dan apa yang dilakukan oleh para dara dari pagar ayu itu?”
“Ya, aku nggak tahu Paman?”
“Begini, diketahui ada lima orang gadis yang tak peduli. Dia membawa pelita tanpa minyak.  Dan ada lima dara yang lain yang  peduli pada tugasnya. Yang lima lainnya komplet membawa pelita yang sudah diberi minyak.Demikianlah semuanya telah terjadi. Sang pengantin yang ditunggu-tunggu tidak datang-datang jua. Sehingga membuat para pagar ayu tertidur sebagian  karena mengantuk. Sampai datang malam hari. Ketika salah satu panitia berseru. “Hadirin pengantin itu telah datang. Hai anak-anak pagar ayu, bersiap-siaplah untuk mengelu-elukan pengantin.”
Karena sudah malam para pagar ayu pun mulai menyalakan pelitanya untuk menerangi kehadiran pengantin laki-laki itu. Maka gadis-gadis yang lalai pun berbisik: “Berilah kami sedikit minyak kalian. Agar kita bisa sama-sama menyambut pengantin.”
Namun tentu saja pagar ayu yang lain enggan memberikannya, bahkan berkata: “Aduh maaf saudaraku, kalau minyak kami sedikit  alamat tak akan cukup buat keperluan kami sendiri.”
“Lalu bagaimana dong dengan kami berlima ini? Apa yang harus kami lakukan?”
“Sebaiknya kalian membeli minyak pada penjual minyak isilah lampu-lampu kalian itu.”
Mereka berlimapun cepat pergi dan membeli minyak yang diperlukan di luar sana. Dan sepeninggal anak dara yang membeli minyak, datanglah pengantin yang ditunggu-tunggu para pagar ayu yang ada pun bersiap dengan lampu menyala. Mereka mengiring pengantin putri dengan lampu nyala di tangan mereka. Dan pengantin putra pun berkenan masuk ke dalam rumah bersama pengantin putri dan pagar ayunya. Pintu pun dikunci.
Sementara itu para pagar ayu yang membeli minyak telah datang dan langsung mengetuk-ngetuk pintu dengan sia-sia. Padahal mereka sudah berseru: ‘Tuan-tuan yang sudah ada di dalam, bukalah pintunya.’
Para gadis pun terkejut ketika ada suara dari dalam yang di luar perkiraan mereka semua; ‘Maaf kami sesungguhnya tidak mengenal kalian yang di luar. Jadi kami tidak akan membukakan pintunya.’
Para gadis yang tertinggal itu tak diperkenankan masuk. Mereka sudah diperingatkan, bahwa pengantin akan datang. Bahkan di saat malam tiba,  namun mereka lalai. Dan membiarkan waktu berlalu. Padahal mereka diberi waktu cukup untuk melakukan peringatan tersebut.
Coba perhatikan: “….sebab itu hendaklah kamu berjaga-jaga, karena tiada kamu ketahui akan hari atau waktunya…” (Matius 25 : 13)
"Jadi apa yang dimaksud dengan Sang Pengantin itu?”
"Dialah yang disebut Anak Manusia yang menjadi Nabi Penutup zaman. Yang telah dinubuatkan oleh Isa dan nabi-nabi terdahulu. Yang akan mendirikan kerajaan sorga di bumi."
            "Apakah beliau telah hadir di bumi ini?" tanya Maryam antusias.
"Ya paman telah menjumpai pengantin itu secara tidak sengaja ketika sepupuku Khatijah menceritakan perihal pengalaman suaminya yang tahannuth (bersamadi) di Gua Hira untuk beberapa waktu. Ketika beliau sedang tidur datang malaikat yang membawa sehelai lembaran kulit dan berkata dengan suara yang jelas di depannya: "Bacalah!" Beliaupun terkejut dan menjawab dengan bingung:"Aku tak dapat membaca." Beliau merasa malaikat kemudian memeluknya sehingga tenggorokannya merasa tercekik. Di saat itu malaikat berkata: "Bacalah." Dan diulangi sekali lagi: "Bacalah!" Beliau tentu masih ketakutan sambil menjawab: "Apa yang harus saya baca?" Dan malaikatpun berkata: "Bacalah…Dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya…" Lalu beliaupun mengulangi kata-kata tersebut sampai tertanam dalam kalbunya. Dan beliaupun melihat malaikat itu pergi.
Beliaupun bertanya-tanya apa yang dilihatnya dan apa yang dirasakannya? Beliapun menoleh ke kiri dan ke kanan. Dan tak melihat siapapun. Sampai akhirnya beliau berdiam dengan tubuh gemetar ketakutan. Cepat ditinggalkannya gua tersebut dan menyusuri  celah-celah bukit. Hanya ia merasa dadanya lapang hatinya terang-benderang. Kebenaran telah menunjukkan kepadanya. Tentang Yang Maha Tunggal  yang telah memberikan peringatan dan menciptakan manusia Dia Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan manusia dengan pena.
Saat itulah beliau mendengar suara memanggilnya. Suara itu dahsyat sekali menggeletar. Beliaupun memandang wajah langit. Apa… beliau melihat malaikat dalam ujud sebagai manusia. Rupanya dia memanggil beliau. Dan ini membuat beliau ketakutan. Serta tertegun. Dan mencoba memalingkan muka dari wajah malaikat tadi. Namun beliau masih melihat malaikat di seluruh ufuk langit. Beliaupun cepat pulang dan hatinya berdegub keras dan cepat masuk kamar. Beliau yang melihat istrinya Khatijah pun berseru: "selimuti aku. Dan selimut pun diberikan namun tubuhnya masih menggigil seperti kedinginan.
Aku sendiri cepat dipanggil Khatijah dan mendengar semuanya. Akupun berseru girang:
"O…, putera Pamanku! Bergembiralah dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang Memegang Hidup Katijah, aku sangat berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Sama sekali Allah takkan mencemoohkan aku; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka, yang dalam kesulitan atas jalan yang benar."
Aku melihat kini beliau tampak tenang kembali. Dipandangnya aku dan Khatijah dengan pandangan penuh terima kasih."
"Mengapa Paman punya kesimpulan demikian, bahwa suami bibi Khatijah adalah Pengantin yang akan dijemput?"
"Ya… ini sesuai dengan firman yang tertulis dalam Haggai 2 : 8): "Dan Aku akan menggoncangkan semua bangsa, dan Himda untuk semua bangsa ini akan datang……"
"Aku belum paham, Paman."
"Himda, hamida atau hmd adalah bahasa Aramia berarti terpuji. Kalau dalam bahasa Arab adalah Ahmad. Sementara Nabi Isa sendiri pernah menyampaikan akan datangnya seorang nabi setelah dia. Dan orang itu adalah Rasul Tuhan yang disebut Paracletos, Periclytos yang dalam bahasa  Arab adalah Ahmad = amat terkenal, mulia dan terpuji. (Injil Yohanes). Sedang Ahmad atau Muhammad adalah suami sepupu Paman yang bernama Khatijah."
"Tapi aku belum bisa menerimanya, Paman."
            Paman tersenyum dan menepuk pundakku. "Suatu saat kau akan yakin." Dan Paman pun pergi. Aku masih belum mempercayai Paman. Dan keterangan Paman sama sekali tidak menyentuh hatiku yang beku. Sampai suatu hari seorang pendeta dalam kebaktian minggu berkhotbah:
"Segala perkara ini aku katakan kepadamu selagi aku tinggal bersama kamu."
"Tetapi Periclytos itu, yaitu Rohul kudus yang akan disuruhkan oleh Bapa atas namaku, ialah akan mengajarkan kepadamu segala perkara itu, (dan akan mengingatkan kamu segala sesuatu  yang aku sudah katakan kepadamu." (Yohanes 13:26-27)
"Ya Periclytos," seruku tiba-tiba. Karena ingat pada keterangan Paman.
"Ada apa nak?" kata pendeta menghentikan khotbahnya.
"Ya…. Kata-kata itu Periclytos atau Sang Penolong, yang terpuji karena kejujurannya."
"Apa?" pendeta heran. "Dengarlah baik-baik, Nak." Dan khotbah itu tak pernah aku dengarkan lagi. Karena pikiranku mengarah kepada Paman. Paman aku harus menjumpainya.Setelah itu aku kemudian cepat-cepat ingin menjumpai Paman Waraqah.
"Paman sekarang aku percaya padamu," teriakku ketika sampai di rumah Paman Waraqah. Tapi aku terkejut ketika orang-orang di rumah paman berpakaian hitam-hitam. Tanda berduka cita. Aku baru tahu kalau Paman Waraqah yang sudah tua ini kini telah tiada. Oh… betapa cepatnya berlalu. Padahal aku belum bicara padanya dan mempercayai ucapannya. Dan percaya kalau Pengantin itu telah datang dan harus disambut. Aku merasakan dunia ini terbalik….ah… akupun pingsan. ***




Cerita Pendek
Batu Yang Terbuang Jadi Batu Penjuru
Oleh Yuliadi Soekardi 

Di  panas terik bukit gersang. Yusak meluncur cepat menuruni bukit itu yang sebagian besar terdiri batu-batu  cadas. Yang kokoh tak goyah oleh terpaan terik mentari. Mungkin juga oleh guyuran air bila sekali-kali hujan mengguyurnya.
Ketika sebuah batu yang yang tak terlalu besar terantuk kakinya, ia mengaduh kecil. Dan agak mengerinyitkan dahinya. Jempol kakinya agak nyeri. Dia pun menghentikan langkahnya dan mencoba mengurut jempol dengan berjongkok. Dan ketika dibuka kasutnya, tampaklah kakinya agak kemerahan.
Sementara ia melihat batu yang menjadi sandungan baginya menggelincir ke bawah bukit sana. Suaranya ribut ketika melintasi rerumputan kering dan daun-daun kering yang terserak seperti terkejut.
 











                                                                                                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar